Kamis, 30 April 2009

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid


Judul : Aqidah Ahlusunnah Waljama’ah; Terjemah & Syarh Aqidah al-‘Awam
Penulis : KH. Muhyidin Abdushomad
Pengantar : KH. Agoes Ali Ali Masyhuri
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 72 hlm.
Presensi : Ach. Tirmidzi Munahwan*

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid

Beberapa hari yang lalu, Islamic Center Cirebon menberikan sebuah pernyataan bahwa acara peringatan Haul Sayyidina Husein atau peringatan hari wafatnya cucu nabi Muhammad telah bertentangan dengan akidah umat Islam. Padahal tradisi seperti ini, telah menjadi bagian amaliah umat Islam Indonesia khususnya warga nahdliyin. Tahlil, istighosah, haul (peringatan wafat), pembacaan Maulid diba’ dan barzanji merupakan hal yang dianjurkan oleh ulama ahlussunnah waljama’ah. Karena amaliah ini, telah mengandung nilai-nilai kebaikan guna untuk mendekatkan diri pada Allah Swt dan menanamkan nilai-nilai kecintaan kepada nabi Muhammad (Duta Masyarakat 13/01/2009).

Berangkat dari permasalahan di atas maka buku yang berjudul “Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah, Terjemah dan Syarh Aqidatul Awam” ini, juga merupakan jawaban tak langsung yang terus dipertanyakan oleh orang-orang yang selalu ingin merusak keyakinan amaliah warga NU. Dari sinilah besarnya mamfaat belajar ilmu tauhid untuk membentengi dari segala sesuatu baik berupa gerakan maupun ajaran baru yang hanya bertujuan merusak ajaran-ajaran yang telah diwariskan oleh nabi Muhammad.

Sungguh luar biasa. Kiai Muhyidin Abdusshomad adalah kiai yang paling produktif menulis khususnya dikalangan warga nahdliyin. Selain menulis buku, ia juga menulis dibeberapa media, baik lokal maupun nasional. Orangnya sederhana, gaya tulisannya mengalir, mudah dipahami khususnya oleh masyarakat awam yang tinggal di pedesaan. Selain sebagai penulis buku, ia juga sebagai pengasuh pesantren Nurul Islam Jember dan saat ini juga sebagai ketua Tanfidziyah NU Cabang Jember. Walaupun tak bermodal gelar kesarjanaan dari berbagai universitas tapi tak pernah membuatnya berhenti untuk terus menghasilkan buku-buku NU sebagai sumbangsih untuk melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah. Kehidupan kiai Muhyidin tak pernah lepas dari pengabdian untuk masyarakat, pesantren dan NU baik melalui tulisan maupun ceramah.

Adapun beberapa karyanya yang saat ini sudah terbit seperti, Fiqih Tradisonalis; Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Tahlil Dalam Persfektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kajian Kitab Kuning), Penuntun Qolbu Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual, Etika Bergaul Di tengah Gelombang Perubahan (Kajian Kitab Kuning), Hujjah NU; Akidah Amaliah Tradisi. Dan yang baru terbit ini adalah, Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah (Terjemah dan Syarsh Aqidah al-Awam).

Aqidatul Awam merupakan salah satu kitab yang diajarkan di setiap pondok pesantren, baik pesantren kecil maupun pesantren yang sudah besar. Materinya berbentuk sya’ir atau nazham yang dikarang oleh Sayyid Marzuqi. Bait-bait Sya’irnya senantiasa dilantunkan oleh kalangan santri untuk dijadikan dzikir baik menjelang terlaksananya sholat berjama’ah maupun memulai sebuah pengajian kitab itu sendiri. Untuk mempermudah memahami baik kalangan santri maupun ustadz, kiai Muhyidin berupaya untuk menerjemahkan dan menjelaskan secara rinci yang sebagian dikutip dari berbagai kitab ke dalam bahasa Indonesia.

Buku “Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah Terjemah dan Syarh Aqidatul Awam” ini, adalah sebuah kitab kecil yang berisikan tentang pokok-pokok keyakinan ajaran Islam yang dijadikan sebagai pijakan bagi kaum nahdliyin. Di dalamnya menjelaskan tentang ilmu tauhid dan dasar-dasarnya. Ilmu tauhid ini menjelaskan tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Juga buku ini menjelaskan sifat-sifat Allah, atau disebut aqoid lima puluh.

Aqoid yang lima puluh itu terdiri dari, 20 sifat yang wajib bagi Allah SWt, 20 sifat mustahil bagi Allah SWT, 1 sifat jaiz bagi Allah SWT, serta 4 sifat wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil bagi rasul dan 1 sifat jaiz bagi rasul. Kesemuanya merupakan isi dari ajaran yang terangkum dalam Aqidatul Awam.

Kewajiban mengetahui 50 keyakinan tersebut diperuntukkan baik bagi laki-laki maupun perempuan yang telah mukallaf. Kewajiban mengetahui 50 kayakinan tersebut tak hanya sekedar untuk diketahui tapi juga dimengerti sehingga kita sebagai umat islam bisa mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat yang hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan ajaran islam dengan baik dan benar.

*Perensi adalahAlumnus PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura, saat ini aktif sebagai anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur.
Baca Selengkapnya “Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid”

Selasa, 19 Agustus 2008

Opini Aswaja

Upaya Melestarikan Tradisi Aswaja
(Ach. Tirmidzi Munahwan)

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan ulang (review), bagaimana warga NU, mampu melestarikan tradisi yang terkandung dalam prinsip-prinsip Aswaja secara baik dan sempurna. Karena saat ini, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja itu kadangkala disalah tafsirkan. Belum lagi dengan banyaknya ormas-ormas Islam yang semua mengaku Ahlussunnah Waljama'ah. Padahal gagasan dan pandangan mereka, seringkali menyimpang dari nilai-nilai dan konsep Aswaja itu sendiri.


Dalam catatan sejarahnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang bertujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunah waljama'ah. Arti Ahlussunnah Waljama'ah disini ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Ada yang mengatakan, Ahlussunnah Waljama'ah adalah orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada al-Qur'an, al-Hadits, al-Ijma' dan al-Qiyas. Dengan latar-belakang tersebut, maka paham Ahlussunnah Waljama'ah tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Hadits sebagai dasar dari setiap diskursus keagamaan yang dilakukannya.


Akan tetapi menurut pandangan Nahdlatul Ulama (NU), bukan berarti Aswaja dan "bermadzhab", kita diharuskan langsung untuk memahami dan menerapkan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits, tanpa mempertimbangkan bagaimana zaman yang kian selalu berubah-berubah. Bagaimana cara menghukumi sesuatu yang tidak ada dalilnya yang sharih (jelas) di dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dan masalah-masalah sosial lainnya, yang juga tidak pernah ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits tersebut.
Ahlussunnah Waljama'ah juga dipahami, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.


Dari pengertian di atas, dalam sejarah pemikiran Islam kemudian berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan antara Mu'tazilah dengan Syi'ah. Dan kalau kita runut dari sejarah lahirnya Aswaja, yaitu sebagai reaksi terhadap Mu'tazilah yang dianggap "sesat" karena terlalu mendewakan akal daripada wahyu. Dan dari benih perbedaan peran akal inilah, kemudian merambat pada perbedaan teologis antar keduanya.


Dan perlu kita ketahui juga bahwa, perbedaan tersebut hanya berkisar pada persoalan-persolan metafisik yang bersifat sepekulatif dan relatif. Salah satu contoh misalnya, perbedaan tentang apakah Tuhan itu dilihat di akhirat nanti? Dan apakah Tuhan itu punyak tangan atau kekuasaan dan seterusnya.



Doktrin Ahlussunnah Waljama'ah
Adapun doktrin Ahlussunnah Waljama'ah telah merujuk pada ulama terdahulu seperti, Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.


Jadi nampak sekali bahwa, doktrin Aswaja sebenarnya berwatak plural tidak tunggal. Artinya bahwa, sejarah lahirnya paham akidah Aswaja adalah sebuah doktrin yang telah dirumuskan – dari aspek teologis – oleh tiga tokoh ternama, yang masing-masing berbeda kultur. Imam asy'ari dari Barzah, Imam al-Maturidi di Samarkand, sedangkan Imam at-Thahawi dari Mesir.
Tradisi Dan Budaya


Adapun salah satu ciri yang paling mendasar dari konsep Aswaja adalah, moderat (tawasut). Sikap ini tidak hanya mampu menjaga bagaimana para pengikut Aswaja tidak terjerumus kepada prilaku keagaamaan yang ekstrem, melakukan dakwah secara destruktif (merusak), melainkan mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan masyarakat secara proporsional.
Di dalam kehidupan tidak bisa dipisahkan dari yang namanya budaya. Karena budaya adalah, kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Adapun salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Menghadapi budaya atau tradisi, yang terkandung dalam ajaran Aswaja telah disebutkan dalam sebuah kaidah "al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadidil al-ashlah", yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa lalu, mengambil hal yang baru yang lebih baik.


Dengan menggunakan kaidah diatas, pengikut Ahlussunnah Waljama'ah mempunyai pegangan dalam menyikapi sebuah tradisi. Di dalam sebuah tradisi itu yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. Jika produk sebuah budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung nilai-nilai kebaikan, maka tradisi tersebut bisa di terima. Bahkan bisa dipertahankan dan di ikutinya, sebagaimana kaidah "al-adah muhakkamah", budaya atau tradisi yang baik bisa menjadi pertimbangan hukum (Aswaja Nahdliyah: hal. 31-32).


Dengan demikian, ajaran dan nilai-nilai tradisi dalam Ahlussunah Waljama'ah ternyata tidak ada yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam. Meskipun juga, terkadang kelompok lain memandang bahwa selametan atau tingkepan yang kata orang Madura "peret kandung" (seorang wanita tengah mengandung tujuh bulan sebagai bid'ah. Nah tradisi ini, harus kita sikapi secara proporsional, arif, dan bijaksana khususnya bagi para pengikut paham Aswaja. Karena di dalam slametan dan tradisi-tardisi lainnya yang di anggap bid'ah masih ada nilai-nilai baiknya dan mengandung filosofis yang tinggi. Tradisi tersebut, tidak harus dihilangkan dan dilarang.


Semoga gagasan dan pandangan-pandangan yang terkandung dalam nilai-nilai Aswaja, mampu menghadirkan Islam yang toleran, damai, dan menghormati setiap hak manusia. Bukan Islam yang berperilaku seperti "preman berjubah" yang berteriak-teriak Allahu Akbar sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang yang tujuannya untuk menghancurkan kelompok lain yang di anggap sesat. Jadi seakan-akan kelompok mereka yang paling benar dan orang lain dianggap sesat. Wallhu a'lam bissowaf.


*)Penulis Adalah; Alumnus PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura, aktivis PMII Syari'ah IAIN Sunan Ampel Cab. Surabaya, dan kini menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya.

Baca Selengkapnya “Opini Aswaja”

pagi ini,pagi yang cerah

alahamdulillah saya sekarang uda buat blog
Baca Selengkapnya “pagi ini,pagi yang cerah”